Pentakosta dan Spirit Kemanusiaan yang Berkeadilan Sosial : Sebuah Perenungan di Hari Pentakosta 2025

Pdt. Daniel Susanto, STh

Pdt. Daniel Susanto, S.Th

Pendahuluan

Seperti diketahui bersama, dalam tradisi Kristen ada beberapa hari raya yang sangat penting, seperti Natal dan Paskah. Namun, di antara perayaan-perayaan tersebut, ada satu hari raya yang sepertinya kurang mendapatkan penekanan, yakni Hari Pentakosta.  Pentakosta, yang mana diyakini sebagai “hari kelahiran gereja,” seringkali seolah-olah hanya sebuah “tambahan.” Meskipun Pentakosta kita tahu dari apa yang tercatat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (PB) Pentakosta adalah peristiwa di mana pencurahan Roh Kudus terjadi.

Roh Kudus tercurah kepada para murid Yesus dan lahirlah gereja Tuhan yang membawa misi untuk menyabarkan Injil ke seluruh penjuru dunia. Tapi, ironisnya perayaan ini sering kali terabaikan dalam liturgi dan praktek gereja.

Barangkali yang menjadi salah satu alasan kurangnya penekanan pada Hari Pentakosta terkait dengan fokus yang lebih besar pada peristiwa-peristiwa seputar kehidupan Yesus, seperti kelahiran, kematian, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga. Sedangkan, Hari Pentakosta dianggap sebagai kelanjutan dari Paskah dan Kenaikan-Nya dan bukan sebagai peristiwa yang berdiri sendiri.

Namun, sangatlah penting untuk memahami bahwa Pentakosta sama-sama memiliki makna yang sangat dalam, sebagaimana hari raya Kristen yang lainnya. Mempelajari tentang Hari Pentakosta banyak hal yang dapat dipelajari oleh umat Tuhan. Mereka akan diajak untuk merenungkan perannya dalam misi gereja serta tanggung jawab sosial terhadap sesama.

Pentakosta Ibrani (Yahudi): Latar Belakang

Pentakosta, yang berasal dari kata Yunani “Pentekoste,” berarti “lima puluh.” Dalam tradisi Ibrani/Yahudi, Pentakosta dirayakan pada hari ke lima puluh setelah Paskah. Awalnya, Pentakosta dirayakan sebagai festival panen yang dikenal sebagai Shavuot, di mana umat Ibrani/ Yahudi merayakan pemberian Taurat di Gunung Sinai. Festival ini juga menjadi momen refleksi  hubungan antara Allah dan umat-Nya, serta berkat yang mereka terima.

Shavuot atau Pentakosta menjadi waktu untuk bersyukur atas hasil panen, di mana mereka mengingat bagaimana Allah telah menyediakan kebutuhan mereka.

Pembacaan Kitab Rut dalam Perayaan Pentakosta

Salah satu aspek penting dari perayaan ini adalah pembacaan Kitab Rut, yang sangat relevan dengan tema panen dan kesetiaan. Rut, seorang Moab, menunjukkan kesetiaan dan kasih sayang kepada ibu mertuanya, Naomi, dengan bekerja keras untuk menyediakan makanan bagi mereka berdua.

Mungkin ada yang bertanya, sejak kapan Kitab Rut dibacakan pada Hari Pentakosta, sedangkan perintah merayakan Pentakosta sudah ada sejak zaman Musa seperti tercatat dalam Ulangan 16:1-16?  Sedangkan Kitab Rut ditulis oleh Samuel yang memiliki jarak dengan kitab Ulangan sangat jauh dan berbeda zaman. 

Diperkirakan Kitab Rut ditulis dan mulai dibacakan dalam ibadah sejak masa pembuangan atau antara Abad 5 – 4 SM dan dikaitkan dalam Hari Raya Yahudi Shavout dan terus dibacakan di Sinagoge-sinagoge.  Dalam konteks perayaan ini, Kitab Rut memiliki makna yang sangat penting. Ketika umat Yahudi merayakan Shavuot, mereka tidak hanya merayakan aspek fisik dari panen, tetapi juga mengingat nilai-nilai kemanusiaan dan kesetiaan yang terkandung dalam kisah Rut. Rut adalah seorang Moab, ia menunjukkan keteguhan hatinya dengan tetap setia kepada ibu mertuanya, Naomi. Bahkan, Rut berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua.

Pembacaan Kitab Rut selama Pentakosta melambangkan lebih dari sekadar kisah individu; ia mencerminkan tema yang lebih luas tentang solidaritas dan dukungan terhadap sesama, terutama bagi mereka yang diabaikan dalam masyarakat. Ketika umat Yahudi merenungkan kisah Rut, mereka diingatkan akan pentingnya memberikan ruang bagi orang-orang yang membutuhkan, mirip dengan hukum Taurat yang menginstruksikan para petani untuk meninggalkan sebagian hasil panen bagi orang miskin.

Dengan demikian, hubungan antara latar belakang Pentakosta dan pembacaan Kitab Rut menjadi sangat erat. Keduanya mengajak kita untuk merenungkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kasih yang seharusnya kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ini tidak hanya mengingatkan umat Tuhan tentang kisah Rut, tetapi juga mengajak mereka untuk merenungkan aspek-aspek penting dari hubungan antar manusia dalam konteks bermasyarakat. Yangmana kisah ini mencerminkan komitmen, kesetiaan, loyalitas, dan solidaritas, menjadi sangat relevan.

Tokoh Boas

Dalam Kitab Rut, muncul pula tokoh yang sangat berperan, yaitu Boas. Sebelum memahami perannya, alangkah baiknya untuk menelusuri latar belakang hukum Taurat mengenai panen. Sehingga, dapat memahami lebih dalam Tindakan yang dilakukan Boas kepada Rut.

Dalam Hukum Taurat, terdapat ketentuan yang mengharuskan para petani untuk meninggalkan sebagian hasil panen mereka bagi orang miskin dan pengembara. Hal ini tercantum dalam kitab Imamat 19:9-10, yang menyatakan bahwa saat memanen, petani tidak boleh memanen secara menyeluruh, melainkan harus meninggalkan bagian tertentu untuk mereka yang membutuhkan.

Dengan latar belakang ini, Boas sebagai pemilik ladang menunjukkan sikap yang sangat terpuji. Ia tidak hanya memberi Rut kesempatan untuk bekerja, tetapi juga memperlakukannya dengan hormat dan kasih. Tindakan Boas mencerminkan prinsip keadilan sosial dan kemurahan hati, yang selayaknya menjadi teladan bagi kita semua. Dengan cara ini, Boas tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari Rut dan Naomi, tetapi juga memberi ruang bagi Rut untuk berintegrasi dalam masyarakat Israel.  Apa yang Boas lakukan menunjukkan makna solidaritas dan dukungan dalam sebuah komunitas.

Makna Baru Pentakosta dalam Perjanjian Baru

Seiring berjalannya waktu, Pentakosta mendapatkan makna yang lebih dalam melalui pencurahan Roh Kudus kepada para murid Yesus. Peristiwa ini terjadi setelah kebangkitan-Nya, di mana Roh Kudus memberi kekuatan dan keberanian kepada para pengikut-Nya untuk mengabarkan Injil. Sehingga, Pentakosta bukan hanya sebuah perayaan agraris, tetapi juga perayaan spiritual yang mencatat asal-muasal lahirnya gereja dan misi untuk melayani umat manusia.

Spirit Kebersamaan dalam Gereja Mula-mula

Dalam Kisah Rasul 4:32-35, setelah hari Pentakosta, gereja mula-mula menunjukkan spirit kebersamaan yang luar biasa, Tabib Lukas mencatat dengan detail bahwa semua orang percaya hidup dalam satu hati dan satu jiwa. Mereka berbagi segala sesuatu yang mereka miliki, dan tidak ada di antara mereka yang berkekurangan. Ini mencerminkan komitmen untuk saling peduli, mendukung dan menjaga kesejahteraan satu sama lain.

Nubuatan Yoel dan Pentakosta

Menarik untuk melihat bagaimana nubuatan Yoel (Yoel 2:28-29) berhubungan dengan perayaan ini. Dalam nubuatan tersebut, Allah menyatakan bahwa Ia akan mencurahkan Roh-Nya kepada semua kalangan, pria dan wanita, termasuk anak-anak, pemuda, dan orang tua. Pesan ini menegaskan bahwa Roh Kudus tidak terbatas pada kalangan tertentu, tetapi tersedia bagi semua orang, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau status sosial.

Makna Rohani di Balik Nubuatan Yoel

Nubuatan Yoel juga menggambarkan inklusivitas dan kesetaraan di hadapan Allah. Ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki akses yang sama terhadap anugerah dan bimbingan Roh Kudus. Oleh karena itu, kita diingatkan untuk saling mendukung dan berkolaborasi dalam menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik.

Implikasi Perayaan Pentakosta: Spirit Kemanusiaan yang Berkeadilan Sosial

Pesan dari nubuatan Yoel mengajak kita untuk memahami bahwa setiap individu memiliki nilai dan potensi yang sama. Dalam konteks ini, spirit kemanusiaan yang berkeadilan sosial menuntut kita untuk berani melawan ketidakadilan dan mendukung mereka yang termarginalkan. Gereja dipanggil untuk menjadi “suara bagi yang tidak bersuara” dan berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

Pelayanan Gereja dan Umat Tuhan di Zaman Ini

Dengan berbagai tantangan yang dihadapi saat ini, di mana degradasi kemanusiaan dan keadilan semakin tajam, gereja dan umat Tuhan harus mengambil langkah konkret. Pertama-tama, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu social, ekologi, pendidikan, politik dan ekonomi, serta mendidik jemaat tentang pentingnya memiliki rasa dan bertindak dengan  berkeadilan sosial.

Gereja perlu dan harus mengadvokasi perubahan kebijakan yang mendukung keadilan sosial dan perlindungan lingkungan. Dalam hal ini, pelayanan terhadap masyarakat menjadi sangat krusial. Gereja harus mengembangkan program yang secara langsung membantu mereka yang membutuhkan, seperti program kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, eko-teologi.

Lebih jauh lagi, kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk lembaga non-pemerintah dan komunitas lokal, akan menciptakan dampak yang lebih luas. Gereja juga harus mengajak jemaat untuk berpartisipasi dalam upaya pelestarian lingkungan dan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan, agar tidak hanya menguntungkan golongan tertentu.

Penutup

Oleh sebab itu, sangat perlu disadari bahwa Pentakosta bukan hanya sekadar perayaan, tetapi sebuah panggilan untuk menggugah kesadaran sosial dan kemanusiaan. Dengan mengingat latar belakang dan makna yang terkandung di dalamnya, serta nubuatan Yoel, gereja diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai agen-agen perubahan yang berkemanusian dan berkeadilan.

Melalui upaya bersama, kita dapat menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Dengan demikian, setiap perayaan Pentakosta dapat menjadi titik tolak untuk mewujudkan spirit kemanusiaan yang berkeadilan sosial.

Pada akhirnya, Selamat Hari Pentakosta! Selamat mengalami lawatan Roh Kudus! Selamat untuk diberdayakan-Nya! Dan Selamat untuk diutus menjadi agen-agen perubahan yang berkemanusian dan berkeadilan sosial. Tuhan Yesus Memberkati kita semua. Amin. (red)

Redaksi

Posting terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post